.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Gudang Cerita

selamat datang di mystory dan selamat membaca

Jumat, 18 September 2015

cerpen persahabatan

Maaf dan Terimakasih - Cerpen Persahabatan Sedih
Karya Nita
 "Hmm," terllihat seorang perempuan menggeliat di atas ranjangnya. Ia merubah posisinya menjadi duduk. Ia menghela napas panjang dan memandang jendela besar di sebelah kiri ranjangnya. Gelap. Hanya ada bintang dan bulan yang menghiasi malam kelamnya. Terdengar suara air yang bersentuhan dengan tanah secara teratur. Melodi yang damai dan menenangkan. Ia melirik jam digital yang terdapat di sebelahnya. "Haah, aku bangun tengah malam lagi," gumamnya setelah melihat jam yang menunjukan pukul 02.36. Sudah menjadi kebiasaannya beberapa hari terakhir untuk bangun larut malam. Ia tidak mempermasalahkannya lagi dan mulai berjalan kearah jendela untuk duduk disana. Menyingkirkan tirainya dan membukanya. Memandang hujan yang turun dengan derasnya. Juga semilir angin yang menghantam wajahnya.

Ia memejamkan matanya, berusaha untuk menikmati keseluruhannya. Memori-memori itu terlintas dibenaknya lagi. Musik. Senyumannya. Kejadian yang dramatis dibawah hujan yang lebat. Dimana semua orang lebih memilih untuk berlindung daripada melawan dinginnya angin. Air mata yang menyatu dengan air hujan. Mengalir dan terjatuh di tanah. Janji yang terucap yang bahkan ia tak tahu bagaimana melaksanakannya.

***
9 tahun lalu...

Terlihat dua orang anak gadis yang sedang memakan makan siangnya di bawah pohon besar. Mereka asyik bercengkrama dan sesekali tertawa. Senyum selalu menghiasi wajah kedua gadis itu. Pohon besar itu adalah saksi bisu keakraban mereka. BUKK!! Sebuah bola menghantam salah satu dari gadis itu.
"Terra, kamu gak apa-apakan? Siapa yang nendang bola ini?!" teriak gadis berambut panjang. "Aku gak apa-apa kok, Sher. Santai aja. Paling mereka gak sengaja." jawab orang yang bernama Terra dengan senyum. "Iya. Makanya kalo main bola hati-hati dong!" Shera memberikan tatapan tajam kepada sekelompok anak laki-laki itu sebelum melempar bolanya kearah mereka. Shera kembali duduk disamping Terra. Bekal mereka telah habis, namun mereka masih ingin duduk dibawah pohon itu.
"Mm, Ter, kamu mau jadi apa kalo kamu sudah besar nanti?" tanya Shera. Matanya memandang langit yang berawan seakan-akan membayangkan apa yang akan ia lakukan ketika ia sudah dewasa.
"Entahlah," jawab Terra yang juga sedang memandang langit. "Dulu aku pernah bermimpi akan menjadi penyanyi karena aku suka sekali bernyanyi." lanjut Terra. "Kamu bisa bernyanyi? Coba dong, kamu nyanyi! Aku belum pernah dengar!" Kata Shera antusias sambil menatap Terra.
"Eh? Aku..aku hanya suka bernyanyi. Bukan berarti suaraku bagus." Shera menyerngitkan alisnya. "Tak apa! Aku hanya ingin dengar! Aku tidak akan mentertawakanmu! Aku juga ingin menjadi violinist terkenal! Nanti kalau sudah besar, kita berduet ya!" ajak Shera bersemangat. Terra tersenyum dan mengangguk kecil. "Janji?" Tanya Shera sambil menunjukan kelingkingnya. "Iya. Aku...janji," balas Terra sambil mengaitkan kelingking mereka.

***
Ia merasakan pundaknya di goyangkan oleh seseorang dan terdengar samar-samar suara orang tersebut. "-Ra, ayo bangun. Hari sudah siang, nih! Ter.., Terra," Terra menyerngitkan dahinya dan perlahan membuka kelopak matanya. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan mulai berdiri dari tempat duduknya. "Mm, Raysha. Jam berapa sekarang?" tanya Terra. "Jam 7! Sana mandi, terus kita langsung ke Festival Paskah Beethoven." ujar Raysha sambil menyenggol pundak Terra lagi. "Iya..iya," Terra berjalan pelan menuju kamar mandi.
Setelah mengenakan pakaian yang menurutnya cukup pantas, ia berjalan keluar menemui Raysha yang sedang sarapan. "Wah, kamu cukup cantik mengenakan pakaian itu," puji Raysha yang tak ditanggap oleh Terra. Mereka melanjutkan sarapan dengan keheningan dan beberapa perkataan dari Raysha. "Ayo," ajak Terra yang diikuti Raysha.
Tak lama setelah mereka sampai di Istana Kerajaan dan Balai Konser Philharmonic, Festival Paskah Beethoven dimulai. Terdengar lagu-lagu klasik terkenal yang dimainkan oleh 30 musisi dari berbagai belahan dunia.
"Ah, Sorry," ucap Raysha ketika tak sengaja menyenggol orang disana. "Never mind," balas orang itu. "Ray, ada a..pa?" ucapan Terra terhenti ketika ia melihat siapa yang berada di dekat Raysha saat ini. "Oh, Terra. Tadi aku gak sengaja nyenggol orang ini." Perkataan Rayshapun diacuhkannya.

Mata Terra terbelalak lebar. "Shera?" tanya Terra pelan. Orang yang disebut sebagai Shera menyerngitkan alisnya pertanda dia bingung dan heran. "Kamu berasal dari Indonesia?" Tanya orang itu senang. Senyum muncul di wajahnya yang cantik itu. "Kamu...tidak ingat aku?" tanya Terra sedih. "Apa maksudmu? Aku memang tak mengenalimu. Mungkinkah kamu berpikir aku Shera?" tanya orang itu balik. Wajahnya berubah menjadi sedih. Terra terlihat makin bingung dengan perkataan gadis itu. 'Bukannya dia memang Shera?' Batinnya. Raysha yang tak tahu apa-apa hanya diam memperhatikan mereka berdua.
"Aku..saudara kembarnya," jawab orang itu pelan. Terra baru akan mengatakan sesuatu sampai gadis itu kembali berbicara. "Kau pasti bertanya kenapa dia tidak memberitahumu? Dulu orangtua kami bercerai. Shera diasuh oleh ayah kami dan aku diasuh oleh ibu. Oh ya, aku belum mempekenalkan diri. Aku Sahla," Orang yang bernama Sahla mencoba untuk tersenyum. Ia mengulurkan tangannya dan dijabat oleh Terra. "Terra," jawab Terra singkat. Ia memaksakan dirinya tersenyum.
"Shera...sudah meninggal." dan Terra tak dapat menahan rasa keterkejutannya. Beberapa tetes air mata meleleh melewati pipinya itu. Ia bahkan belum menepati janjinya untuk berduet bersama Shera. Dan dia belum meminta maaf pada Shera. Memori-memori akan perpisahannya dengan Shera kembali memenuhi pikirannya.

***
6 tahun yang lalu...

Di aula sebuah sekolah terlihat sangat ramai hari ini. Aula SMP Benih Harapan, tempat Terra dan Shera bersekolah sedang mengadakan acara. Acara perpisahan sekaligus kelulusan angkatan 29 di SMP Benih Harapan. Semua orang tua yang datang tersenyum haru melihat anaknya telah lulus dari SMP. Terra melihat teman-teman seangkatannya sedang berbicara akrab dengan orang tua mereka. Sejujurnya, ia iri. Orang tuanya bahkan lebih memilih mengurus perusahaan mereka di luar negeri daripada mengunjungi acara kelulusannya. Duk.. Seseorang menyentuh bahunya keras. Ia tahu itu adalah kebiasaan Shera. Ia berbalik dan melihat Shera menatapnya dengan senyum tulus. "Jangan terus memandang mereka seperti itu. Orang tuamu pasti memiliki alasan kuat untuk itu. Aku dengar kamu peringkat 4 seangkatan loh..." Shera selal tahu bagaimana cara menghibur Terra. Ia menggoda Terra terus-terusan membuatnya malu.
"Baiklah anak-anak, kita sampai pada acara kita selanjutnya. Acara Unjuk Bakat setiap kelas!" Dan terdengar sorak dan tepuk tangan meriah dari para murid. "Ssstt.. Kemarin saat kau tidak masuk, kami sekelas disuruh memilih siapa yang akan mengikuti acara unjuk bakat ini. Karena tidak ada yang mau, aku mengusulkan kamu sebagai penyanyi dan mereka semua setuju." bisik Shera kepada Terra. Terra merasakan jantungnya berdebar grogi dan keringat dingin mengucur dipelipisnya. "A..Apa?" lirih Terra. "Dan selanjutnya dari kelas 9.3!" seru pembawa acara. "Terra! Terra! Terra! Terra! Terra!" seluruh murid dari kelasnya menyorakan namanya. Tak terkecuali Shera. Terra di dirong maju oleh Shera keatas panggung. Ia melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju panggung dengan bergetar.
"Baiklah Shera, disini tertulis kamu akan bernyanyi. Apa yang akan kamu nyanyikan?" Tanya si pembawa acara. "Aku..aku..aku akan bernyanyi...emm. Twinkle Twinkle Little Star!" ujar Terra ragu. "Kenapa memilih lagu itu?" tanya si pembawa acara lagi. "Karena..karena.. lagu itu mengingatkan kita pada masa kecil. Jadi kita tidak akan melupakan masa kecil kita walau sudah beranjak dewasa." ujar Terra ragu lagi. "Baiklah mari kita mulai! 1! 2! 3!" berbagai alat musik mulai berbunyi. Namun, Terra tak kunjung bernyanyi. Ia menggenggam mic itu dengan erat. Sampai musik berhentipun ia tak kunjung bernyanyi. Semua menatap heran padanya. Terutama Shera. Ia memberanikan diri untuk berbicara. "Aku..aku..aku tidak bisa!" ucap Terra sedih. Air mata mulai mengucur di wajahnya. "Terra.." gumam Shera. Terra segera menjatuhkan mic itu dan berlari keluar dari aula sekolahnya.

Karena musik yang terlalu keras didalam, ia tak tahu bahwa keadaan diluar sedang hujan. Dengan nekat, dia menerobos derasnya hujan. "Terra!" seru seseorang. Terra berhenti dan berbalik. Disana Shera berjalan menuju dirinya tanpa membawa payung. Nekat menerobos hujan seperti Terra. "Kenapa? Kenapa kau tidak menunjukkan bakatmu Terra?" hujan membasahi keduanya. "Karena..aku tak bisa! Aku tak bisa bernyanyi!" ucap Terra pasrah. "Kau bisa bernyanyi. 
Tapi kau tak mau menunjukannya." balas Shera. "Sejak awal kau ingin bernyanyi. Hatimu berkata kau ingin bernyanyi. Hanya saja, kau terlalu takut untuk mencobanya. Terlalu tak percaya diri! Kau menghancurkan keparcayaan kami. Tak bisa diandalkan." ucap Shera tajam. "Dari awal aku tak mau melakukannya! Kalian memintaku tanpa meminta persetujuanku! Aku...Aku takut! Aku..tak bisa..Aku tak bisa melakukannya." balas Terra. "Kalau begitu...aku juga tak bisa...Aku juga tak bisa berteman denganmu..Aku tak bisa berteman dengan seorang pecundang!" Kalimat terakhir Shera sangat menyakiti hatinya. Tangisannya pecah bersamaan dengan Shera yang melangkah menjauhinya. Air matanya bahkan tak dapat dibedakan dengan air hujan. Ia terus berdiri disana menatap pintu gerbang sekolahannya. Tak ada yang menemuinya lagi. Tak ada. Hanya hujan yang menemaninya menangis. Dan angin yang berhembus seiring dengan mendinginnya hati Terra.
***

Ia mengerjapkan matanya beberapa kali dan baru menyadari bahwa sekarang dia berada di kamarnya. "Kau sudah bangun?" Tanya Raysha pelan. Ia mengangguk lemah dan berharap apa yang baru saja dialaminya tadi hanya mimpi. "Apa tadi...aku pingsan?" Tanya Terra. Raysha tersenyum lembut dan mengangguk. "Berarti semuanya benar-benar terjadi. Apa yang dikatakannya saat aku pingsan tadi?" Raysha menunduk sebentar dan menjawab, "Baiklah kalau kau ingin tahu. Sahla bilang Shera meninggal 6 tahun yang lalu." Mata Terra kembali melebar. Berarti..."Ia meninggal saat sehari setelah kelulusannya. Dia ingin memberikanmu surat sebagai tanda permintaan maafnya. Tapi, dia lebih memilih menyelamatkan seorang anak kecil yang berada di tengah jalan raya. Ia ingin memberikan ini untukmu," Raysha menyodokan selembar amplop putih yang telah kusut dan agak kotor.
'Hi, Terra. Aku tahu ucapanku kemarin terlalu berlebihan. Aku hanya ingin menumbuhkan rasa percaya dirimu. Aku memang salah. Seharusnya aku meminta pendapatmu dulu sebelum bertindak. Aku pernah mendengar rekaman suaramu di HP mu. Suaramu bagus, Terra! Sangat bagus! Kenapa kau tidak bernyanyi saja sih.

Tahu tidak, semua murid di kelas kita merasa bersalah loh, denganmu! Aku harap kamu mau memaafkan mereka dan juga aku. Aku sengaja mengucapkan maafku melalui surat ini karena aku masih malu bertemu denganmu kerana kejadian kemarin. Aku merasa tidak pantas dimaafkan. Hehehe... maafkan aku dan yang lainnya ya? :)'

Terra meneteskan air mata dalam diam. Tak terdengar isak tangisnya. 'Andaikan kau tahu Shera, aku sudah memaafkanmu bahkan aku berterima kasih padamu. Setelah kejadian itu, aku berubah menjadi gadis yang pemberani dan percaya diri. Terima kasih ya... Aku juga minta maaf karena dulu tidak dapat diandalkan dan telah membuat kalian malu. Kau tahu...sekarang aku sudah menjadi penyanyi terkenal dan satu lagi. Aku minta maaf karena tidak dapat melaksanak janji kita..' Dan Terra tersenyum tulus. Senyum tulus yang pertama kali ini ia berikan.

The End

Tidak ada komentar:

Posting Komentar