Aku, Kamu dan Dia
“Lo, gue, end!” teriakku di birthday party Lena sahabatku.Aku mengacaukan acara ulang tahunnya karena ku putuskan hubunganku yang sudah 4 tahun ku jalani dengan Diko. Aku nggak tahan lagi dengan semua kebohongan Diko dan Lena yang selama ini disembunyikan dariku. Ternyata diam-diam Diko ingin memutuskanku di acara birthday partynya Lena. Aku tahu hal ini karena Rasya yang memberitahuku. Aku nggak bisa bayangkan dimana perasaan Lena saat selingkuh dengan pacar sahabatnya sendiri.
Malam itu jadi malam kelam buatku. Aku putus dengan Diko karena dia selingkuh sama sahabatku sendiri. Hatiku tercabik-cabik. Bahkan di saat aku memutuskan Diko, di saat itu pula Diko meresmikan hubungannya dengan Lena. Secara spontan aku menampar Diko di depan banyak undangan yang merupakan teman sekolah kami. Plakk! Tamparanku tak sebanding dengan rasa sakit yang mereka goreskan di hatiku. “Sakit! Sakit banget!” teriakku dalam hati.
Setelah malam itu, aku nggak semeja lagi dengan Lena. Lena pindah ke belakang bertukar posisi dengan Rasya. Lena tidak pernah minta maaf padaku, bahkan dia mencuekiku di kelas. Hatiku semakin tercabik-cabik saat aku melihat Lena dan Diko makan bareng di kantin, pulang pergi sekolah selalu sama dan bahkan mereka tak segan-segan bermesraan di hadapanku. Mereka tidak peduli dengan perasaanku. “Help me God please!” bisikku dalam hati. Teman-temanku sangat simpati padaku. Mereka menyebut Lena dan Diko sebagai pengkhianat, tapi aku tidak pernah membenci mereka karena aku sudah memaafkan kesalahan mereka. Aku berharap ini sakit hati yang pertama dan terakhir untukku.
Saat mencari buku paket akutansi di rak bukuku, tidak sengaja 2 foto jatuh dari dalamnya. Foto saat aku dan Diko sedang berlibur di Borobudur. Diko memelukku sangat mesra saat itu. Lalu foto berikutnya saat aku berulang tahun. Diko mencium keningku di hadapan kedua orangtuaku dan juga teman-temanku. Tiba-tiba aku teringat lagi dengan semua kenanganku dengan Diko. Aku pun termenung mengingat semua memori indah itu. Tanpa ku sadari ada yang jatuh dari pelupuk mataku. Aku sadar itu semua tinggal kenangan.
Kemudian ku lihati di sekitar kamarku. Di setiap sudut kamarku ada bayangan Diko. Sulit bagiku melupakan Diko karena hampir tiap hari aku melihat bayangannya di kamarku. Lalu ku masukkan semua barang-barang yang pernah Diko kasih untukku dalam sebuah kardus kecil. Mulai dari bunga mawar, fotoku dengan Diko, boneka, lampu hias, jam tangan, dan surat-surat cinta dari Diko. Supaya aku benar-benar bisa melupakannya, aku pun pindah ke kamar kakakku yang saat ini sedang mengambil S2 di luar negeri.
Waktu terus berputar dan tanpa terasa hari ini adalah pengumuman kelulusan SMA senasional. Rasya menjemputku dari rumah untuk melihat pengumuman. Setibanya di sekolah, teman-teman pada sibuk memadati mading sekolah yang letaknya ada di koridor. Semua berdesak-desakan ingin melihat namanya di papan kelulusan. Sejauh ini aku tidak melihat teman-temanku ada yang pingsan ataupun menangis sedih karena tidak lulus. Mereka semua terlihat begitu senang, ada yang teriak, tertawa, lari-lari, melompat kegirangan, menangis bahkan saking senangnya ada temanku yang menyalami orang-orang yang saat itu tengah lewat di depan sekolah. Aku tertawa melihat ekspresi mereka. Saat mading mulai sepi, giliranku melihatnya. Hari itu mulai sore. Telunjuk tangan kananku mulai menelusuri kertas demi kertas untuk mencari namaku. Tanganku berhenti saat mataku membaca nama yang ku cari-cari.
No. NIS Nama Keterangan
12118490 Andrea Zahara LULUS
“Yes! Gue lulus” teriakku dalam hati. Aku senang akhirnya aku lulus SMA. Tapi tiba-tiba dadaku terasa sesak saat tanpa sengaja aku melihat Lena memeluk Diko. Ternyata mereka ada di sampingku melihat pengumuman kelulusan juga. Jantungku rasanya mau lepas dari tubuh ini. Aku senang mereka lulus, tapi seharusnya mereka tidak berpelukan di hadapanku. Emosiku mulai naik, entah kenapa pengen rasanya aku berteriak marah pada mereka, tapi karena ini hari terakhir kami bertemu, ku urungkan niatku memarahi mereka. Aku pun mengajak Rasya pulang.
Tiga tahun 2 bulan kemudian.
karena gagal masuk perguruan tinggi, akhirnya aku kuliah di salah satu universitas swasta ternama di Jogja. Aku memilih jurusan hubungan internasional karena aku bercita-cita ingin berkelana di negeri orang. Aku sibuk dengan kuliahku hingga aku akhirnya dapat melupakan Diko.
Saat ini aku lagi dekat dengan seniorku. Usia kami sama, hanya saja di usia 4 tahun dia sudah mulai sekolah. Dia sangat baik dan perhatian padaku. Malam ini dia mengajakku nonton bioskop. Kebetulan malam ini launching pemutaran perdana film Breaking Down 2. Aku bingung memakai baju apa malam ini. Entah kenapa aku pengen tampil cantik di hadapannya. Berjam-jam aku membongkar lemari bajuku untuk mencari baju yang cocok buatku. Akhirnya ku temukan juga baju yang pas buat nonton malam ini. Dress hijau polos pilihanku.
Aku ingat kalau dress ini pernah aku pake saat Diko menembakku. Tiba-tiba aku teringat lagi padanya.
“He’s just my past. You must move on Rea” kataku berusaha menyemangati diri sendiri. Rambutku ku ikat ala ekor kuda dengan poni menyamping ke kiri. Sebelum aku pergi, aku berkaca untuk memastikan tidak ada yang kurang.
“Penampilanku polos banget ya?” pikirku dalam hati. Aku termenung di depan cermin.
“Lo udah cantik kok Re. Cantik banget malah” puji Sarah satu kost-ku. “Lo udah ditungguin tuh sama Manda dari tadi” kata Sarah. Aku kaget ternyata Manda sudah lama menungguku.
“Oke. Thanks ya Rah”
—
“Filmnya bagus banget ya” kataku memecahkan keheningan. Setelah nonton bioskop, aku dan Manda makan di cafe yang tak jauh dari bioskop.
“Oh ii…iya!” kata Manda terbata-bata. Tingkahnya aneh sekali. Dia kelihatan gugup.
“Lo kenapa?”
“Hah? A.. euu, gu.. gue nggak apa-apa kok.”
“Mmm.”
“Rea.”
“Iya?”
“Mmm… Lo mau nggak jadi pacar gue?”
Puurrr!! Saking shocknya tanpa sengaja aku meyemprotkan minuman dari mulutku ke wajah Manda. Manda pun terkejut. Dengan cepat ku ambil tisu lalu membersihkan wajahnya. Aku membersihkan wajahnya sambil meminta maaf berulang kali. Tiba-tiba Manda memegang tanganku. Jarak wajah kami sangat dekat. Dekat sekali. Bahkan boleh dibilang kami hampir saja berciuman. Tatapannya begitu tajam. Aku merasa ada yang aneh pada diriku saat itu. Jantungku tiba-tiba berdetak kencang sekali. Terakhir kalinya aku seperti ini saat Diko menciumku di pesta ulang tahunku 3 tahun lalu. Cukup lama kami saling berpandangan saat itu.
“Udah lama gue simpan rasa ini Re. Gue sayang lo. Lo mau nggak jadi pacar gue?” kata Manda sambil menatap mataku tanpa berkedip sedikit pun. Aku gugup.
Ku akui selama ini Mandalah yang mengisi hari-hariku hingga sedikit demi sedikit aku bisa melupakan Diko. Jantungku berdetak tiga kali lebih kencang. Bola mataku nggak tahu lagi ke mana arahnya karena hanya Manda yang ada di hadapanku. Langit malam itu dibanjiri bintang dan galaksi lainnya. Udara semakin dingin ku rasa karena dress yang ku pake berbahan tipis dan berlengan pendek. Tubuhku serasa ditusuk-tusuk angin malam.
Saat aku menjawab “gue mau kok jadi pacar lo,” dari mulutku ke luar asap karena dinginnya malam itu. Spontan saja Manda langsung memelukku. Hangat ku rasa dalam pelukannya. Belum pernah aku merasakan kehangatan senyaman ini. Tapi badanku sedikit gemetar. Manda tahu kalau aku kedinginan, lalu dia membuka jaketnya dan memasangkannya di tubuhku. Dia memelukku kembali. Aku mendengar suara angin bernyanyi merdu malam itu dan bintang-bintang di langit memancarkan sinar terbaiknya. Ku lihat bulan tersipu malu bersembunyi di balik awan. Mereka seakan-akan dapat merasakan apa yang ku rasakan.
Akhirnya aku bisa menggantikan Diko di hatiku. Manda mulai mengisi kenangan demi kenangan di memoriku. Manda selalu mengantar jemput aku dari kos. Jalan, makan, nonton bahkan sampai mengerjakan tugas pun kami lakukan bersama. Kami banyak menghabiskan waktu di perpustakaan karena hobi kami sama-sama membaca. Saat pulang dari perpustakaan, Manda mengajakku ke rumahnya. Katanya sepupunya dari Jakarta datang dan sedang menunggunya di rumah. karena jalan pulang searah dengan rumah Manda, jadi mau tidak mau aku harus ikut dia ke rumahnya.
Rumahnya bak istana dalam cerita dongeng. Besar sekali. Tamannya luas dikelilingi bunga-bunga dan pepohonan. Ada lapangan golf, badminton, dan futsal juga. Indah sekali. Aku tidak menyangka kalau ternyata Manda anak konglomerat pada hal selama ini aku lihat dia biasa-biasa saja. Manda mengaku padaku siapa dia sebenarnya. Manda punya prinsip hidup “find it and never give up, so you’ll can get it.” Bahkan motor kawasaki ZX-10R itu adalah hasil dari tabungannya selama ini. Aku salut padanya. Manda juga tidak sombong dan bersahaja pada semua orang. Beda dengan anak muda jaman sekarang yang tahunya hanya menghamburkan dan memamerkan harta orangtua.
Saat memasuki rumahnya, Manda menggandeng tanganku. Aku merasa jadi perempuan yang paling bahagia saat itu. Manda adalah sosok pria impian bagi kaum hawa dan aku bahagia bisa memiliki cintanya. “Aku harap dia cintaku yang terakhir” kataku dalam hati sambil tersenyum. Namun dalam sekejab senyumanku hilang saat aku berpapasan dengan seorang pria di depan pintu rumahnya Manda. Mataku rasanya mau copot. Sesak ku rasa. Ku eratkan gandengan tangan Manda. Manda bingung lalu menatapku tapi aku tidak menatapnya karena aku hanya berfokus pada pria yang saat ini ada tepat di hadapanku.
“Hai Rea” sapa pria itu. Aku hanya terdiam melihatnya. Aku seperti patung. Aliran darahku berhenti bahkan jantungku pun tak berdetak lagi.
“Rea, lo kenapa?” tanya Manda lembut sambil memukul pelan pipi kananku. Aku pun tersadar.
“A… a… gu.. gue nggak apa-apa kok” balasku terbata-bata. “Kenapa aku seperti ini ya saat bertemu dengannya lagi” kataku dalam hati.
“Lo kenal sama Rea, Dik?” tanya Manda.
“Iya. Dia teman SMA gue” jawab Manda sambil melihatku. Aku masih terdiam dengan tangan masih menggandeng Manda.
“Oh” kata Manda santai.
Manda lalu mengajakku dan Diko masuk ke rumah. Selama di rumah Manda aku tidak banyak bicara, aku kaku saat itu. Sesekali ku curi pandang dengan Diko, Diko pun demikian. Mata kami sering bertabrakan. Karena tidak tahan lagi, aku meminta Manda mengantarku pulang dengan alasan kurang enak badan. Memang saat itu wajahku pucat. Tanpa basa-basi Manda pun mengantarku pulang. Tatapan Diko tidak berubah dari dulu sampai sekarang padaku, itu yang membuatku tidak tahan lama-lama di dekatnya.
Seminggu setelah aku bertemu lagi dengan Diko, perasaanku galau dan risau. Aku tidak tenang selama Diko masih ada di sekitarku. Seperti biasa tiap week-end aku mengajak Manda ke toko buku tapi kali ini Manda tidak bisa karena harus menemani papanya ke luar kota mengurus perusahaan keluarga. Akhirnya ku putuskan pergi bersama Sarah. Karena sibuk nyari buku, aku dan Sarah terpisah. Saat aku mencari-cari Sarah, tanpa sengaja aku menabrak seseorang.
Bruukk! Kertas-kertas dalam mapnya berserakan dimana-mana. Lalu aku membantunya mengumpuli kertas-kertas itu sambil berulang kali meminta maaf.
“Ini” kataku sambil memberikan kertas-kertas itu lalu tersenyum padanya. Saat aku melihat orang itu, senyumanku sirna.
“Alena?” kataku kaget. Alena tersenyum padaku. Tanpa ada angin dan hujan, Lena memelukku lalu menangis sejadinya.
“Maafin gue Re. Gue nyesel udah ngerebut Diko dari lo. Maafin gue ya” isak tangis Lena. Aku diam seribu bahasa.
“Gue udah maafin lo kok Len” kataku sambil mengelus-elus punggungnya.
Lena menatapku. Rasa penyesalan itu terpancar dari matanya. Lalu ku ajak Lena minum di cafe yang ada di samping toko buku itu. Niatku untuk mencari Sarah pun batal tapi aku menelepon Sarah untuk memberitahunya kalau aku bersama temanku di cafe sebelah. Lena menceritakan semuanya padaku. Ternyata setelah lulus SMA, Lena dan Diko putus karena Diko selingkuh dengan sahabat dekatnya Lena. Lena mengaku sudah lama mencariku untuk meminta maaf. Aku tidak menyangka Lena mengalami hal yang sama denganku. Ada kalimat Lena yang membuatku terkejut dan jantungku berdetak cepat sekali.
“Sebelum kami putus, Diko bilang ke gue kalau dia sangat mencintai lo Re, alasan dia kemarin nembak gue cuma ingin membalas lo karena udah mutusin dia di ulang tahun gue. Menurut gue itu nggak masuk akal, tapi itu nyakitin hati gue banget Re. Diko jadiin gue pacar hanya untuk pelampiasan doang, gue nyesel Re” curhat Lena sambil menangis.
Aku tidak habis pikir kenapa Diko sanggup melakukan itu pada Lena. Aku kasihan pada Lena. Aku memeluknya. Hari itu mulai gelap. Lena yang udah merasa baikan akhirnya ku suruh pulang. Aku dan Sarah pun kembali ke kos.
Setelah mendengar pengakuan dari Lena, sikapku biasa-biasa saja. Entah kenapa ada di dekat Manda membuatku merasa tenang dan damai. Tapi Manda belum tahu tentang hubunganku dengan Diko, aku sengaja tidak memberitahunya karena menurutku itu tidaklah penting. Manda saat ini tengah sibuk mengurus kuliahnya karena tahun ini Manda akan wisuda. Intensitas kami bersama pun berkurang. Aku memberikan ruang buat Manda untuk fokus pada skripsinya. Kesendirianku ini pun dimanfaatkan oleh Diko. Aku tidak tahu dari mana Diko dapat nomor hp dan alamat kosku.
Diko sering menemuiku di kos, bahkan mengajakku jalan. Aku pun bingung kenapa aku mau menerima ajakannya pada hal aku sudah punya Manda yang baik, perhatian, dan sayang padaku. Aku merasa mengkhianati cinta Manda. Manda pernah mengajakku menemaninya mencari bahan skripsinya di perpustakaan tapi aku menolaknya dengan alasan mengerjakan tugas bareng teman pada hal saat itu aku lagi jalan dengan Diko. Itu kesekian kalinya aku bohong pada Manda. “Apa ini artinya gue masih sayang sama Diko” pikirku saat sedang duduk di teras kosku.
Diko pun mulai menjadi-jadi. Hampir tiap hari dia mengajakku. Sedikit demi sedikit aku mulai mencueki Manda. Lalu Lena mengingatkanku pada apa yang pernah Diko lakukan dulu padaku. Sejak kejadian di toko buku itu, aku dan Lena menjadi akrab kembali seperti saat kami SMA dulu.
“Lo nggak boleh terus-terusan kayak gini Re. Lo bilang lo punya Manda yang tulus menyayangi lo. Dia butuh lo ada di sampingnya buat ngasih dia semangat nyelesain kuliahnya” kata Lena mengingatkanku. Aku sadar aku sudah sering membohonginya. Aku pun menangis.
“Ternyata aku juga pengkhianat” kataku dalam hati. Besoknya ku putuskan untuk menemui Manda dan jujur padanya.
—
“Gue tunggu di kantin perpus jam 2.” isi BBM-ku buat Manda.
Sambil menunggu jam 2, aku baca-baca. Tidak terasa jam di kantin menunjukkan jam 2 tepat. Aku melihat Manda di kejauhan sedang mencariku. Aku melambaikan tangan, Manda melihatku lalu menghampiriku. Muka Manda kelihatan lelah dan badannya mulai kurus karena belakangan ini dia sering begadang. Aku memesan orange juice minuman kesukaan Manda. Ku beranikan diri buat jujur padanya karena aku tidak mau kehilangan orang yang ku sayangi untuk kedua kalinya.
Aku baru sadar ternyata aku sangat mencintai Manda. Di pikiranku saat ini hanya ada Manda, Manda, dan Manda. Dengan sedikit kaku ku ceritakan semuanya pada Manda. Mulai dari hubunganku dengan Diko, alasanku sering menolak ajakannya serta curhatan isi hatiku padanya. Aku takut Manda memutuskanku karena saat itu Manda kelihatan marah dan kecewa padaku. Manda beranjak dari kursinya lalu berdiri di hadapanku. Perasaan takutku pun mulai menjadi-jadi. Aku pasrah apapun yang terjadi. Tiba-tiba Manda memelukku. Erat sekali. Lalu berbisik di telingaku.
“Lo tahu gue sayang banget sama lo, gue sakit hati saat lo bilang kalau lo sering jalan sama Diko sampe-sampe lo bohong sama gue. Tapi gue hargai kejujuran lo buat ngakuinnya. Makasih. Gue sayang lo sampe kapan pun Re.” Setelah mendengar itu, aku pun bisa bernapas lega dan aku bahagia karena Manda mau nerima kejujuranku.
“Makasih. Gue janji nggak akan ngulanginya lagi. Gue sayang lo banget” balasku.
Bunga-bunga cinta di antara kami kembali mekar dengan warna yang jauh lebih indah. Rumput hijau pun menari-nari. Burung-burung di langit bersorak-sorai. Karya Tuhan yang sungguh luar biasa.
Kemarin sore di taman kota.
“Maafin gue Dik, gue nggak bisa nerima cinta lo lagi. Gue sayang banget sama Manda dan gue nggak mau kehilangan dia. Dia kebahagiaan gue. Biarkan gue bahagia bersama Manda. Please?” kataku setelah Diko mengungkapkan perasaannya.
Sekian
Cerpen Karangan: Indah Simanjuntak
Blog: http://indahkyuzoe27.blogspot.com/
Facebook: https://www.facebook.com/indah.a.simanjuntak
Nama : Indah Simanjuntak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar