.do-not-copy { -webkit-user-select:none; -khtml-user-select:none; -moz-user-select:none; -ms-user-select:none; user-select:none; }

Gudang Cerita

selamat datang di mystory dan selamat membaca

Minggu, 04 Oktober 2015

cerpen

PERSEMBAHAN BUAT MAMA
Karya Rita Lestari

Sejak usia belum genap satu tahun, Ara hidup tanpa kehadiran seorang ayah. Ayahnya pergi meninggalkannya dan ibu yang sangat dicintai serta mencintainya. Melihat teman-temannya yang tumbuh dengan orangtua yang lengkap, ia merasa tak seberuntung mereka. Ara yang saat itu masih kanak-kanak begitu sangat lugu dan mempercayai perkataan ibunya bahwa sang ayah telah meninggal dunia. Tapi tampaknya rasa penasaran Ara terhadap sosok ayah mulai menggedor-gedor hatinya untuk segera mengetahui apa yang sebenarnya terjadi setelah usianya beranjak remaja. “Ma, Ara pengen tahu kuburan Papa. Ara pengen banget ziarah ke makamnya. Kasihan Papa, pasti kangen sama kita. Bahkan sekalipun kita gak pernah mengaunjunginya. Kenapa Ma?‘‘ tanya Ara.
“Kan Mama udah bilang, kuburuan Papamu tuh jauh. Kita gak punya cukup uang buat ongkos ke sana!” jawab Mama.
“Ara kangen Papa. Ara gak punya kesempatan buat ketemu Papa, masa Ara harus gak punya kesempatan juga buat sekedar berziarah ke makamnya. Ayo Ma, kita ke makam Papa! Ayo Ma!“ Ara terus merengak kepada ibunya sambil menangis. Melihat Ara menangis, tampaknya membuat hati ibunya terenyuh. Dengan tangis yang juga merajainya, akhirnya ibupun berkata yang sebenarnya.
“Papamu masih hidup. Tapi jangan pernah kamu menaruh harapan lebih sama Papamu, karena dia udah punya kehidupan sendiri‘‘ kata Mama, lirih.

Mendengar pernyataan ibunya, Ara sangat behagia karena ternyata ia masih memiliki seorang ayah. Di sisi lain hati Ara sangat terpukul, kenapa ibunya tega berbohong tentang ayahnya. Ara ingin sekali menanyakan tentang perihal itu, tentang kebohongan yang selama ini dibuat oleh ibunya. Tapi hati kecil Ara berkata, “Mama pasti punya alasan yang kuat kenapa ia sampai berbohong tentang kebenaran ini.‘‘

Lambat hari Ara mengerti tentang apa yang terjadi dengan orangtuanya. Ara mengerti dan mengetahui bahwa orangtuanya telah bercerai sejak 12 tahun yang lalu. Kerinduannya terhadap sosok ayah yang selama 12 tahun ia tak prenah merasakan sama sekali sentuhan dan kasih sayang seorang ayah membuat ia ingin sekali berjumpa dengannya. Suatu hari ia pergi ke kota Metropolitan untuk menemui ayahnya. Ara tidak sendiri, tentu saja. Ia ditemani paman yang selama ini telah ia anggap sebagai sosok ayah dalam kegalauannya.
“Om, Ara senang deh ternyata Papa masih hidup. Dan sebentar lagi Ara bakal ketemu Papa. Hehe, jadi gak sabar. Kira-kira Papa kenal Ara gak ya Om?‘‘ ujarnya penuh semangat.
“Ya pasti Papamu kenal. Lah wong kamu ini anaknya!“ jawab Om.
”Iya ya Om, Ara kan anaknya Papa. Pasti Papa kenal Ara. Pasti Papa juga kangen banget ya Om sama Ara ? Gak kebayang gimana nanti Papa meluk Ara. Pasti meluknya erat banget terus gak lepas-lepas, saking kangennya. Hehe“ ucap Ara. Sementara sang paman membalas dengan senyuman.

Ara dan Om pun tiba di Jakarta.
“Loh Om, Kok ke rumah Tante Mia? Bukannya kita mau ketemu Papa?“ tanyanya, heran.
“Iya sayang, kita ketemu Papanya di sini“ jawab Om.
“Kenapa Om? Kata Om, Papa punya rumah di Jakarta. Kenapa kita gak ke rumah Papa aja, langsung? Kan Ara pengen tahu rumah Papa, biar Ara bisa sering-sering main ke rumah Papa.“
“Ara, Papa kamu kan uda punya kehidupan sendiri. Di rumahnya, bukan cuma Papa kamu aja yang tinggal. Tapi ada orang lain juga. Kamu gak mau kan mengganggu mereka?“
“Tapi Ara kan anaknya Papa. Ara juga gak akan ganggu orang lain kok.“
“Ya udah nanti lain waku ya sayang. Sementara,sekarang kita ketemu Papanya di sini dulu. Sebentar lagi Papamu datang, cuci muka dulu gih! Biar gak kucel tuh mukanya. Masa mau ketemu Papa kok kucel gitu!“
“Iya Om“

Setelah selesai mencuci muka, Ara kembali duduk di teras rumah tantenya. Ia begitu tak sabar menunggu kedatangan ayahnya. Beberapa saat kemudian tampak sosok laki-laki gagah mengenakan jaket kulit warna hitam, turun dari sepeda motornya. Laki-laki itu semakin mendekat ke arah Arah. Dalam hati Ara bergumam, “Gak salah lagi, itu Papa. Ya Tuhan, apa aku sedang bermimpi? Papaku yang selama ini ku anggap mati, ternyata sekarang ada di hadapanku. Bahkan ia tampak lebih gemuk dibandingkan dengan yang aku lihat di foto.“
“Asalamualaikum“ ucap sang Papa.
“Waalaikumsalam“ jawab Ara dan Om.

Saat itu juga Ara berharap apa yang dibayangkannya menjadi kenyataan. Ia selalu membayangkan pertemuan pertama itu adalah hari yang paling indah. Dimana ayahnya akan memeluknya erat-erat, membelainya, dan mencurahkan segenap kerinduan layaknya sosok ayah yang merindukan anaknya. Tapi ternyata semua jauh dari apa yang ia bayangkan. Sang ayah hanya menyodorkan tangan kanannya untuk kemudian ia cium.
“Ini Ara ya?” Tanya Papa.
“Iya Pa, ini Ara” jawab Ara.
“Kamu masih sekolah?”
“Masih Pa.”
“Kelas berapa?”
“Kelas enam”
“Yang rajin sekolahnya, biar pintar!”
“Iya Pa.”
“Mama kamu sehat?”
“Sehat Pa, Papa sehat?”
“Iya, Papa sehat.”

Tak ada perbincangan yang berarti di antara mereka. Bahkan Ara yang sebelumnya membayangkan pertemuan itu adalah awal yang baik untuk ia mencurahkan rindunya terhadap sang ayah, ternyata pupus. Yang ia rasakan justru sebaliknya. Ia merasa asing di mata sang ayah juga menganggap ayahnya asing di matanya. Ara justru tampak canggung untuk bermanja-manja kepada ayahnya, karena nyatanya sang ayah tak memberikan kehangatan sama sekali untuknya. Penantian Ara selama 12 tahun, terbayar dengan pertemuan yang hanya setengah jam saja. Hati Ara menangis, ia masih ingin memandang wajah ayahnya.
“Pa, kenapa buru-buru? Ara masih kangen” ucap Ara.
“Papa ada kerjaan. Nanti lain waktu kita ketemu lagi ya!“

Ara tertunduk lesuh. Saat sang ayah akan beranjak, seketika itu juga Ara menahan ayahnya sejenak.
“Tunggu Pa!” serunya.
“Iya Ra, ada apa? Papa buru-buru.”
“Ara minta nomor telepon Papa, boleh?”
“Iya, boleh. Kebetulan Om mu tadi sudah mencatat nomor telepon Papa, nanti kamu minta aja sama dia ya!”
“Baik Pa.”
“Ya sudah, Papa pamit. Asalmualaikum!”
“Waalaikumsalam.”
Ara hanya diam. Air mata yang ingin ia keluarkan, tertahan. Teriakkan serta tangisan yang ingin ia pecahkan, menggumpal jadi satu dalam hati yang kini mengiba. Ya, sebenarnya ia mengiba. Mengiba kasih sayang serta sentuhan seorang ayah. Hari telah berlalu, kehidupan masih terus berjalan. Sekalipun Ara tak bisa membawa ayahnya ikut bersamanya pulang, tapi itulah yang harus Ara jalani. Ia tak pernah merasa sendiri, karena masih ada sang ibu yang begitu luar biasa menyayanginya.
***

“Ra, bulan depan sekolahmu udah mulai ujian ya?” tanya Mama kepada Ara.
“Iya Ma. Tenang aja, Ara udah mulai siap-siap kok Ma. Ara udah belajar rajin dari biasanya. Kan biar lulus, terus bisa masuk SMP favorit. Hehe!“
“Mama senang lihat kamu semangat. Tapi kali ini Mama gak bisa sendirian Ra.“
“Maksud Mama?“
“Kamu harus lanjut sekolah, tapi Mama gak bisa sendirian membiayai kamu. Order jahitan lagi sepi. Mau gak mau kita harus minta tolong Papamu.“
“Ya udah Ma, ayo kita telepon Papa! Ara masih nyimpen nomor teleponnya kok.“
“Udah malam Ra, besok aja ya!“
“Iya Ma.“

Keesokkan harinya setelah pulang sekolah, Ara pergi ke Wartel. Sang ibu tidak bisa menemaninya karena harus menyelesaikan jahitan.
“Halo!“ Ara mendengar suara wanita mengangkat teleponnya.
“Halo!“ sahut Ara, “Bisa bicara dengan Bapak Wilyo?“
“Ini siapa ya?“

Saat ditanya seperti itu, Ara bingung haru jawab apa. Ara yakin suara wanita itu adalah suara istri ayahnya. Ara gugup tiba-tiba. Ia langsung menutup teleponnya. Tapi mengingat dia harus bicara dengan ayahnya, ia putuskan untuk menelepon lagi.
“Halo!” kembali terdengar suara perempuan itu.
“Bisa bicara dengan Bapak Wilyo?”
“Kamu yang tadi telepon kan?”
“Iya Bu.”
“Kamu siapa?”
“Aku Ara“
“Ara? Tunggu, tunggu kayaknya aku pernah dengar nama itu.“
“Aku Ara, anaknya Papa Wilyo.“
“Ohh jadi kamu! Ada apa kamu nyariin Papa kamu? Papa kamu gak ada.Udah, jangan telepon-telepon lagi!”

Wanita itu langsung menutup teleponnya. Ara semakin terguncang. Ia bingung apa yang harus ia katakan kepada ibunya. Berkali-kali ia mencoba menghubungi nomor itu kembali. Tapi berkali-kali juga wanita itu yang mengangkat teleponnya. Bukan jawaban dari sang ayah yang ia dapat, melainkan cacian dari ibu tirinya, istri ayahnya.
“Gimana Ra? Apa kata Papamu?“ tanya Mama sesampainya Ara di rumah.
“Papa lagi gak ada di rumah Ma. Kayaknya di rumahnya gak ada siapa-siapa deh. Soalnya Ara coba hubungin berkali-kali tapi gak ada yang angkat telepon Ara.“
“Oh…ya sudah, besok kita hubungin lagi!“
Ara tak sanggup menceritakan kepada ibunya tentang kejadian saat ia menghubungi ayahnya. Sekali lagi air mata Ara tertahan, tapi saat ini ia menahan air matanya karena ia tak mau sang ibu mengetahui bahwa betapa sakit hatinya.

Hari berikutnya Ara kembali ke Wartel. Kali ini sang ibu menemaninya.
“Biar Mama aja yang ngomong sama Papamu.“
“Iya Ma.”

Ara yang menunggu di luar Wartel, melihat wajah sang ibu di dalam Wartel yang kacanya tembus pandang tampak kesal. Entah apa yang sedang terjadi dengan pembicaraan antara mama dan papanya. Ibunya tampak sedang berdebat dengan ayahnya. Entah apa yang sedang diperdebatkan. Saat itu Ara hanya bisa melihat tanpa mendengar. Beberapa saat kemudian sang ibu keluar dari dalam Wartel.
“Gimana Ma?“ tanya Ara, penasaran.
“Papamu bersedia membantu. Walaupun tadi harus Mama paksa dulu. Mama berhak memaksa, karena ini kan demi kepentingan kamu, anaknya. Kamu berhak mendapatkan apa yang seharusnya kamu dapatkan dari seorang ayah.“
Satu bulan kemudian Ara masuk SMP. Belum lama ia menjadi siswa SMP, sang ibu memutuskan menikah lagi. Ara tak bias melarangnya. Ara berharap lelaki pilihan ibunya akan bisa meringankan beban mereka, terutama membantu perekonomian mereka juga bisa menjadi sosok ayah yang ia dambakan. Tapi keadaan tidak berubah. Pekerjaan ayah tirinya yang menjadi buruh serabutan tak membuat perubahan berarti dalam perekonomian mereka. Bukan hanya itu, Ara juga tidak pernah bisa merasa nyaman dekat dengan ayah tirinya. Sekalipun tahun sudah berganti tahun ia hidup satu atap dengan ayah tirinya, ia masih menganggap ayah tirinya asing. Entah apa yang menyebabkan Ara tak bisa dekat dengan ayah tirinya.
***

Ujian Nasional sudah di depan mata. Di saat yang lain sibuk memikirkan harus melanjutkan ke SMA mana setelah lulus SMP nanti, tapi Ara tidak. Ia menyadari perekonomian keluarganya tak seberuntung teman-temannya. Ia tak berani menghubungi ayahnya lagi untuk meminta tolong.
“Ra, Mama udah menghubungi Papamu berkali-kali tapi gak ada jawaban” ujar Mama.
“Mama telepon Papa? Kenapa Ma? Gak biasanya Mama telepon Papa.“
“Mama gak mau kamu putus sekolah. Mama pengen kamu sekolah setinggi-tingginya. Mama pengen lihat kamu jadi guru.“
“Ara pengen bantuin Mama aja. Ara gak mau nyusahin Mama lagi. Ara ga apa-apa kok Ma sampai SMP aja sekolahnya.”
“Tapi masa depan kamu yang kenapa-kenapa kalau kamu putus sekolah. Ijazah SMP bisa buat apa? Pokoknya gimanapun caranya kamu harus lanjut ke SMA. Mama akan usaha sebisa Mama.“
“Tapi masuk SMA itu butuh banyak uang Ma.“
“Kalau Papamu gak mau bantu, Mama bisa jual motor Mama.“
“Jangan Ma! Itu kan buat nganter-nganterin jahitan. Mama bakalan repot kalau gak ada motor itu.”
“Udah, kamu jangan mikirin masalah itu! Yang penting kamu bisa tetap sekolah.“
Sang ibupun menjual motornya untuk bisa membiayai Ara masuk SMA. Motor yang selama ini berperan penting dalam pekerjaannya. Motor yang baru lunas satu bulan yang lalu itu kini terpaksa ia jual demi menyekolahkan anaknya. Terlebih lagi Ara adalah anak satu-satunya. Hanya Aralah yang nantinya bisa mengangkat derajatnya.

Setelah lulus SMP, Arapun akhirnya melanjutkan SMA. Hari itu adalah hari pertama Ara masuk sekolah di SMA.
“Hei, aku Shita“ ajaknya berkenalan.
“Aku Ara“ sambil melontarkan senyuman, “Duduk sama aku aja!“ ujar Ara.
“Boleh?“
“Ya boleh dong.“
“Makasih ya.“
“Sama-sama.“

Hari-hari berikutnya Arapun berteman dekat dengan Shita. Bahkan mereka menjadi bersahabat. Ara menilai Shita adalah sosok yang menyenangkan dan berbeda dengan teman-teman lainnya. Begitupun sebaliknya. Tak jarang mereka saling mencurahkan isi hati satu sama lain. Di kelas XI, Ara dan Shita di tempatkan satu kelas lagi.
“Ara, kita satu kelas lagi!” teriak Shita.
“Iya Ta? Yee….akhirnya doaku terkabul bisa sekelas sama kamu lagi.”
Tampak kebahagiaan di wajah mereka. Ara merasa beruntung memiliki sahabat seperti Shita, begitupun Shita.

Di kelas XI, gadis yang polos itu mulai mengenal cinta. Ya, Ara telah tumbuh beranjak dewasa. Usianya kini tidak lagi 12 tahun. Usianya sudah hampir 17 tahun.
“Ra, kok ngelamun! Ngelamunin apa sih?“ tegur Shita.
“Ah gak, gak ngelamun kok!“ sangkal Ara.
“Bohong, orang dari tadi bengong gitu. Ngelamunin Ferdi ya? Hayo ngaku! Ciyee…!“ sindir Shita.
“Ah apaan sih kamu Ta!“ ucap Ara, tersipu malu.
“Eh..eh..eh..tuh lihat! Ferdi nyamperin kita. Ehem, aku pergi aja deh. Biasa aja ya Ra, jangan salting! Hahahahaha…!“ ledek Shita.

Shitapun pergi, sementara Ferdi menghampiri Ara.
“Ra, kok gak ke kantin?“ tegur Ferdi.
“Iya Fer, lagi males aja.“ Jawab Ara.

Ara memang kerapkali tidak ke kantin, lantaran ia harus berhemat. Selain itu juga karena uang sakunya tak jarang hanya cukup untuk ongkos kendaraan (angkot).
“Aku mau tanya serius Ra sama kamu“ ujar Ferdi.
“Tanya apa Fer?“ ucap Ara.
“Tanya…em…aduh aku bingung nih ngomongnya” Ferdi tampak gelisah, begitu juga Ara.
“Kok bingung? Ngomong aja!” desak Ara.
“Perasaan kamu ke aku, gimana?“
“M…maksud kamu?“ Ara kaget.
“Aku sayang sama kamu, Ra. Boleh aku jadi pacar kamu?“

Saat itu Ara bingung harus jawab apa. Ara juga menyayangi Ferdi, tapi ini kali pertama ia mengenal cinta sehingga ia tak cukup tahu apa yang seharusnya ia lakukan, dan harus seperti apa ia menyikapi perasaannya sendiri. Ara takut menjadi egois karena cinta, sehingga ia akan mengacewakan ibunya.
“Ra, kok diem?“ tegur Ferdi.
“Oh..em, maaf. Aku kaget aja kamu ngomong gitu.“
“Gimana Ra, boleh?“ tanya Ferdi sekali lagi.
“Jujur aku bingung Fer. Aku gak bisa jawab sekarang. Kasih aku waktu ya!“ pinta Ara.
“Baiklah. Aku akan terima apa pun jawabannya Ra. Makasih ya sebelumnya.”
“Sama-sama Fer. Besok jam istirahat kamu temui aku lagi ya, aku akan kasih jawaban ke kamu.”
„Oh iya Ra, pasti, pasti aku akan temui kamu besok.“

Sepanjang malam itu Ara tak bisa dengan segera terlelap tidur. Hatinya masih berkutat dengan kebimbangan. “Tuhan, perasaan ini sungguh tulus menyayangi Ferdi. Dia baik, dia berbeda. Aku jatuh cinta padanya. Tapi adilkah ini, Tuhan? Adilkah ini untuk Mama? Jika saja akhirnya aku mengecewakan Mama, aku akan sangat menyesal.“ Hati Ara berdesir penuh bimbang. Tapi keesokkan harinya,
“Fer, aku udah janji bakal kasih jawaban ke kamu hari ini“ ucap Ara kepada Ferdi.
“Iya Ra, jawaban kamu apa?“ tanya Ferdi, cemas.
“Aku juga sayang kamu.”
“Itu artinya…?
“Ya, kamu boleh jadi pacar aku.”
“Sungguh Ra? Makasih Ra, aku seneng banget. Makasih sayang, makasih. Upst keceplosan. Hehe, jadi malu.”
“Hehe, iya gak apa-apa kok.”
Sejak saat itu Ara dan Ferdi resmi berpacaran. Hampir setiap hari mereka pulang sekolah bersama. Kebetulan mereka satu arah. Gaya pacaran mereka tak seperti remaja nakal yang haus akan cinta. Ara dan Ferdi memang mesra, tapi mesra mereka dalam bentuk saling menasihati, mengingatkan, bertukar pikiran dan hal-hal positive lainnya. Bentuk kasih sayang mereka, mereka curahkan dengan perhatian. Ferdi selalu memanjakan Ara dengan kata-katanya, bukan dengan pelukan, ciuman dan sebagainya. Suatu ketika Ferdi mengirimkan pesan melauin ponselnya (SMS).
Ku merasa bahagia saat aku di sisimu
Bahkan dirimu berikan aku sebuah arti
Arti yang tak akan bisa kupungkiri
Cinta yang kau beri
Kasih sayangmu kepadaku
Kan menyatu dalam hatiku
Sungguh…
Rasa cintaku padamu
Rasa sayangku kepada dirimu
Akan selamanya bersatu dalam hatimu
Kita berdua akan selalu bersama
Tuk selama-lamanya.
Kata-kata Ferdi selalu bisa membuat Ara membumbung, mengawang. Saat Ferdi bersyair untuk dirinya walaupun melalui SMS, sudah cukup membuat hatinya merekah. Ia bahagia, Ferdi telah membuatnya tak merasa layu lagi.
***

Beberapa hari kemudian, tepat hari libur sekolah. Ara diajak sang paman pergi ke Jakarta. Pada saat itu juga Ara berinisiatif untuk menemui ayahnya kembali. Kali ini ia datangi kediaman ayahnya. Ia tidak sendiri, ia ditemani Om dan sepupunya. Ara sangat berharap kedatangannya disambut baik oleh ayah dan keluarga tirinya. Arapun tiba.
“Asalamualaikum“
“Waalaikumsalam“ sang ayah membuka pintu. Ara lega, ternyata ayahnyalah yang membukakan pintu. Ara memang tidak mau jika ibu tirinya atau saudara tirinya yang membukakan pintu.
“Ayo masuk, masuk!” ajak sang ayah.
“Lastri! Kakakmu datang ni” sang ayah memanggil Lastri, anak dari hasil pernikahan ke duanya.

Lastripun ke luar, tapi ia tidak sendiri melainkan ada sang ibu yang ikut serta menuju ruang tamu untuk menemui Ara, Om, dan sepupunya.
“Eh ada tamu agung toh!” ujar ibu tiri Ara. Sementara Lastri hanya diam. Tatapan mata keduanya penuh sinis terhadap Ara. Bahkan sang ayahpun lebih memilih banyak diam dibandingkan bicara. Sekali lagi hati Ara terluka. Harapannya selalu hilang, harapan indah saat bertemu sang ayah justru mencabik-cabik hatinya. Ia ingin sekali bisa menangis di hadapan ayahnya agar ayahnya tahu bahwa ia selama ini sangat merindukannya, sangat membutuhkannya, dan terluka atas sikap acuhnya.
Tapi Ara tegar, ia tak mau hati om dan sepupunya ikut terluka karena melihat ia menangis. Sebelum akhirnya memutuskan pergi dari rumah ayahnya, Ara sempat memotret adik tirinya. Keesokan harinya Ara kembali tiba di rumah. Dan menceritakan kepada ibunya tentang kejadian di rumah ayahnya. Ya, Ara tidak mendapat apa-apa. Ara pun menunjukkan foto adik tirinya kepada sang ibu. Setelah mendengar cerita Ara dan melihat foto Lastri, sang ibu kesal.
“Udah Mama bilang, percuma kamu temuin Papa kamu! Apa yang kamu dapat? Ga dapat apa-apa kan? Kamu malah direndahkan seperti itu. Pokoknya suatu saat nanti kamu harus sukses, Ra! Buktikan sama papa kamu kalau kamu bisa!“ tukas Mama.
Ara menangis, ia tak sanggup lagi menyembunyikan kesedihannya. Terlebih lagi melihat pembelaan sang ibu untuknya, hati Ara seakan menjerit. “Tuhan, sesulit dan sepahit inikah hidupku?“ desirnya merintih.

Hari terakhir libur sekolah, Shita datang ke rumah Ara. Namun Ara tidak ada di rumah.
“Tunggu aja dulu Ta! Bentar lagi juga Ara dateng kok. Sini, sini masuk, ngobrol-ngobrol dulu sama Tante!“ ujar ibu Ara.
“Iya Tante, makasih“ jawab Shita.
“Tante seneng kamu datang ke sini. Sebentar lagi kalian kelas XII. setelah lulus, nanti kamu mau kuliah di mana?“
“Kuliah? Belum tahu Tante. Pengennya sih kuliah, tapi mengingat kedua orangtuaku kondisi ekonominya elit (ekonomi sulit) gak tahu deh Tante. Kalau ada rezki ya alkhamdulillah. Kalau gak, ya aku kerja aja Tante. Bantuin Mama, Papa.“
“Iya ya Ta, orang-orang kayak kita ini Cuma punya mimpi. Jaman sekarang semua serba uang. Tante sih pengen Ara bisa kuliah, tapi jujur Tante gak sanggup membiayai Ara kuliah. Kalau kalian pengen kuliah, mulai dari sekarang harus rajin-rajin cari beasiswa. Tapi mending cari kerja aja deh Ta, cari uang! Sukses kan gak harus kuliah dulu, yang penting kalian terampil dan punya kemauan pasti bisa sukses!“
“Iya Tante, bener“

Tiba-tiba Ara datang.
“Eh..ada Shita! Udah lama Ta?” Tanya Ara.
“Lumayan Ra. Hehe.”
“Maaf ya jadi nunggu, abis kamu gak bilang sih mau ke sini!”
“Iya, santai aja lagi!“
***

Suatu hari Ara pergi mendatangi konser musik The Masiv dengan Lala. Lala adalah teman SDnya. Rumah Lala juga tak jauh dari rumah Ara. Lala pernah mengantar Ara ke suatu tempat, Lala pernah menolong Ara. Dan Ara pikir, ia harus membalas kebaikan Lala. Terpaksa ia mengikuti ajakan Lala yang mengidolakan The Masiv untuk menonton konsernya. Konser tersebut diadakan di Stadion yang letaknya tak jauh dari sekolah Ara. Konser dimulai sore hari. Jam sudah menunjukka pukul 18.30 WIB. Ara panik, tak biasanya ia berada di luar rumah hingga petang. Takut sang ibu cemas dan memarahinya, akhirnya dengan tak enak hati ia meninggalkan Lala. Arapun pulang. Sesampainya di rumah, sang ibu menyambutnya. Kali ini Ara disambut dengan wajah kesal ibunya. Dan hal yang ditakuti Ara terjadi, ibunya sangat marah. Saat itu Ara bagaikan sedang mimpi buruk. Gagang sapu melayang ke tubuhnya. Berkali-kali sang ibu memukulinya. Ara menangis, ia kesakitan tapi ia sadar bahwa ia bersalah.
“Mau jadi apa kamu? Tugas kamu belajar, bukan malah keluyuran nonton konser! Sama siapa kamu pergi? Sama siapa? Jawab!“ ujar sang ibu, meletup-letup penuh emosi.
“Lala Mah“jawab Ara dalam isak.
“Lala? Sejak kapan kamu bergaul sama dia? Mama gak suka! Ngerti? Ini cukup pertama dan terakhir kalinya!“ seru sang ibu, kemudian pergi meninggalkan Ara dengan muka merah padam. Ara masih kesakitan. Bukan hanya tubuhnya yang sakit, tapi hati dan batinnya ikut mengerang penuh sesal karena telah membuat sang ibu kecewa.

Keesokan harinya Ara menceritakan apa yang telah dialaminya kepada Shita.
“Yang sabar Ra! Mama kamu kayak gitu pasti karena beliau gak mau anaknya jadi gak bener. Mama kamu sayang banget sama kamu kok Ra” ucap Shita.
“Iya Ta, aku tahu. Aku sering kok ngrasain ini, Mama sering mukulin aku kalau emang bener-bener merasa kecewa. Dan setiap Mama nglakuin itu, aku sadar kalu aku salah. Cuma cara Mama negur aku yang aku anggap keterlaluan. Apa mama kamu juga kayak gitu Ta?“
“Setiap orangtua punya cara sendiri untuk mendidik anaknya, Ra. Dan itu semua gak tanpa alasan. Mama kamu pengen kamu jadi anak yang kuat. Pokoknya, yang penting kamu jangan buat mama kamu kecewa lagi ya ke depannya!“
“Makasih ya Ta, kamu yang selalu bisa nenangin aku.“
“Sama-sama Ra, ini kan gunanya sahabat?“

Pada saat jam istirahat, Ara menemui Ferdi.
“Fer, aku mau ngomong sesuatu“ ujar Ara kepada Ferdi.
“Iya Ra, ngomong apa?“
“Aku sayang sama kamu. Tapi aku gak bisa nglanjutin hubungan ini.“
“Loh…kenapa Ra?“

Pada saat itu juga Ara menceritakan kejadian yang telah menimpanya. Selain kepada Shita, ia juga tak jarang menceritakan keluh kesahnya kepada Ferdi.
“Aku gak mau ngecewain Mama lagi, Fer. Aku juga gak mau Mama bakalan lebih marah dari kemarin kalau akhirnya Mama tahu kalau aku pacaran“ tambahnya.
“Iya Ra, aku ngerti. Aku bisa ngomong apa? Itu keputusan kamu. Bagi aku masalah status hubungan gak terlalu aku permasalahkan. Yang penting kita sama-sama saling sayang. Aku sayang kamu Ra. Aku terima keputusan kamu.”
“Makasih Fer.” Mereka saling memandang dan tersenyum.
Hari-hari berikutnya kembali Ara jalani dengan normal. Kurikulum di kelas XI hampir selesai. Hingga akhirnya ia dan teman-temannya sampai di kelas XII. Di kelas XII inilah para siswa dituntut untuk belajar lebih serius lagi. Mereka dituntut untuk siap menghadapi Ujian Nasional dan lulus dengan nilai yang baik. Ujian Nasionalpun di depan mata. Sebelum Ujian Nasional tiba ternyata Ara telebih dahulu dihadapkan oleh suatu ujian dalam keluarganya. Sang ibu bertengkar hebat dengan suaminya, ayah tiri Ara. Ia menyaksikan pertengkaran itu. Bukan hanya adu kata, ternyata sang ayah tiri tega manyakiti fisik ibunya. Ara tak bisa berbuat apa-apa, ia ingin sekali mengajak ibunya lari bersamanya. “Tuhan, ujian apa lagi ini?“ keluhnya.

Ara menjadi tidak konsentrasi belajar. Ara sempat putus asa. Dua hari kemudian , setelah pertengkaran itu, sang ibu menghampiri Ara.
“Ra, Mama gak kuat. Mama pengen pergi aja dari rumah. Kita tinggalin laki-laki itu Ra. Mama udah gak sanggup hidup serumah dengan dia lagi” ucap sang ibu dalam tangis.
“Ara ikut apa kata Mama aja. Ara sayang Mama“ jawab Ara juga dalam tangis.
Tapi ternyata bukan mereka yang pergi dari rumah, melainkan ayah tiri Aralah yang terlebih dahulu meninggalkan mereka.

Seminggu kemudian, Ara tersentak mendengar pernyataan ibunya.
“Ra, Mama mau ke Saudi. Surat-surat keberangkatana dan sebagainya udah diurus sponsor. “ ucap sang ibu.
“Mama lagi bercanda kan?”
“Gak Ra. Mama serius. Mama pengen kamu kuliah. Mama gak punya keahlian lain selain menjahit. Di Saudi, Mama akan ditempatkan kerja menjadi penjahit. Ara izinin Mama ya!“
“Tapi Ma, Ara gimana?“
“Ara akan baik-baik aja. Kamu bisa tinggal dengan Tantemu, biar rumah kita dikontrakkan. Uang hasil kontrakkannya bisa buat keperluan kamu sehari-hari.“
“Mama tega tinggalin Ara?“
“Tega gak tega Ra. Mama harus pergi demi masa depan kamu.“

Dengan berat hati akhirnya Arapun berkata,“Ara gak bisa melarang Mama. Yang penting Mama jaga diri ya kalau udah di sana!“
“Pasti Ra.“

Dua hari berikutnya sang ibu berangkat ke penampungan, di daerah Jatiasih, Bekasi. Ujian Nasional sudah semakin di depan mata, empat hari sebelum ujian, Ara memutuskan mendatangi ibunya di penampungan untuk meminta doa restu. Dan pertemuan itu menjadi pertemuan terakhir mereka untuk sementara. Hari ketiga Ujian Nasional, disaat Ara harus berjuang menjawab soal-soal, pada hari yang sama sang ibu berangkat ke Saudi. Sekali lagi Ara tegar. Ia tak mau mengecewakan ibunya. Ujian Nasionalpun selesai. Setelah lama menanti hasil ujian Nasional, akhirnya hari itu tiba. Dimana hasil Ujian Nasional akan segera diketahui. Ara dan teman-teman satu sekolahnya, dinyatakan seratus persen lulus.
“Alkhamdulillah aku lulus!!!” teriak Ara, “Mama, aku lulus!” teriaknya lagi.
Semua siswa bersorak sorai, mereka bahagia, mereka lega.
***

“Ra, gimana? Uadah daftar?” Tanya Shita kepada Ara.
“Untuk tahun sekarang di UPI untuk jurusan PGSD gak ada ujian tertulis Ta. Jadi aku daftar ke UNY. Doain ya..!”
“Siip…doain aku juga ya! Besok aku mau melamar kerja.”
“Pasti. Melamar kerja di mana Ta?“
“Di Hotel, temanku bilang ada lowongan resepsionis. Hotel baru sih, hotelnya juga gak gede-gede amat, masih bintang dua. Tapi aku berharap banget bisa diterima Ra.“
“pokoknya aku selalu doain kamu, Ta. Good luck ya!“
“Thanks Ra, kamu juga ya…good luck!“
Satu minggu kemudian Ara mengikuti SNMPTN di UNY. Dua minggu setelahnya, Ara mengetahui hasilnya. Ara terpukul, ia gagal. Sementara Shita diterima kerja sebagai Resepsionis di hotel tersebut.

Setelah gagal di UNY, Ara memutuskan untuk menunda satu tahun kuliahnya. Ia berkeputusan untuk bekerja terlebih dahulu, yang membuat ia semangat ialah kesempatannya untuk mengikuti SNMPTN jurusan PGSD di UPI tahun depan. Karena ternyata informasi yang dulu ia dapat, salah. Seharusnya waktu itu ia bisa daftar SNMPTN UPI PGSD, hanya saja missed komunikasi yang membuat ia kehilangan kesempatan itu.
“Pokoknya tahun depan aku harus diterima di UPI. Aku harus bikin mama bangga. Aku akan jadi guru, seperti harapan Mama“ gumamnya penuh semangat.

Ia tak lantas lost contact dengan sang ibu begitu saja. Satu bulan sekali sang ibu pasti menghubunginya.
“Ma, aku gagal masuk UNY. Maafin Ara Ma!“ ujar Ara.
“Ya udah gak apa-apa, masih ada kesempatan kok. Kerja aja dulu, tahun depan ikut Tes lagi! Mama selalu mendoakan kamu.“
“Makasih Ma.“
“Kamu di sana hati-hati ya. Gak ada Mama, bukan berarti Mama gak ngawasin kamu. Kamu harus mawas diri, jangan neko-neko.jadilah yang Mama banggakan!“
“Insya Allah Ma. Mama juga hati-hati ya di sana. Ara sayang Mama.“

Satu bulan kemudian Ara diterima kerja di salah satu Perusahaan Elaktronik. Tidak genap satu tahun bekerja, Ara memutuskan keluar dari perusahaan itu. Alasannya satu, ia ingin mengejar cita-citanya. Ya, satu bulan lagi ia harus mengikuti SNMPTN jurusan PGSD di UPI. Untuk itu ia harus focus. Agar ia tidak mengecewakan ibunya lagi. Hasilnya? Benar saja, Ara kali ini berhasil. Semua itu berkat kerja keras dan kesungguhannya. Ia langsung mengabari ibunya.
“Ma, alkhamdulillah Ara diterima di UPI“ ucapnya senang.
“Makasih sayang, makasih. Mama seneng dengarnya“ ucap sang ibu.
“Ara yang makasih ke Mama. Ini semua berkat doa Mama. Ara gak mau ngecewain Mama lagi. Cuma ini yang bisa Ara lakuin, Ara pengen wujudin harapan Mama untuk melihat Ara sukses jadi guru. Ara gak akan pernah bisa membalas kerja keras serta kasih sayang Mama ke Ara. Makaihs Ma!“
“Mama ikhlas sayang. Mama gak peduli Mama harus kerja keras kayak gini asalkan kelak Mama bisa lihat kamu sukses dengan gelar Sarjana. Kamu harapan Mama satu-satunya Ra.“
“Iya Ma, Ara janji akan wujudin itu. Mama akan lihat Ara sukses. Mama akan lihat Ara mendapat gelar Sarjana. Mohon doanya ya Ma. Karena dengan doa Mamalah Ara bisa lewatin apapun.“
“Pasti Mama akan selalu mendoakan kamu.“
Beberapa tahun kemudian Ara wisuda. Sang ibu yang telah pulang tiga tahun sebelum hari wisuda Ara, turut menyaksikan hari bersejarah itu. Hari itulah yang ia tunggu-tunggu. Hari dimana ia melihat anaknya memakai Toga pertanda sebentar lagi anaknya resmi menjadi Sarjana. Ya, ia sangat bahagia. Penuh haru ia manyaksikan wisuda Ara. Rasa syukur kepada Tuhan tak henti-hentinya ia ucapkan. Kerja kerasnya selama ini berbuah manis. Kehidupannya yang terjal berakhir mulus. Puteri kebanggaannya telah benar-benar membuat dia bangga. Ia kini merasa terbangun dari mimpi. Dimana anaknya akan mewujudkan mimpi-mimpi itu, mengubah kehidupannya yang gelap menjadi terang, itulah harapannya.

Beberapa saat kemudian Ara menghampiri ibunya.
“Mama…!“ teriak Ara. Ia langsung mencium tangan ibunya, berlutut serta mencium kaki ibunya. Keduanya berada dalam peluk dan isakan tangis yang tak henti-hentinya. Isakan tangis itu bukanlah isakan tangis beberapa tahun yang lau, dimana saat itu adalah isakan yang penuh kegetiran, kali ini isakan tangis itu penuh kebahagiaan.
“Makasih sayang, makasih” ucap Mama.
“Makasih Ma” sahut Ara, mereka masih saling berpeluk.
“Mama bangga sama kamu. Kamu udah berhasil mewujudkan impian Mama. Tapi ini bukan akhir Ra, kamu masih harus jauh melangkah ke depan untuk bisa mengeluarkan kehidupan kita dari gelap. Kamu yang Mama harapkan Ra. Dengan ini, mudah-mudahan sedikit demi sedikit kehidupan kita akan menjadi lebih baik. Kamu gak boleh mempunyai nasib seperti Mama. Kamu harus lebih terang dari bintang. Kamu harus lebih harum dari mawar. Mama yakin anak Mama pasti bisa. Jadilah orang yang berguna sayang, yang amanah serta bertanggung jawab! Lakukanlah yang seharusnya kamu lakukan! Sebagai orangtua, Mama hanya bisa mendoakan. Doa Mama akan selalu tercurah buat kamu sampai Mama menutup mata untuk selama-lamanya.“
“Makasih Ma, Ara akan sukses buat Mama. Wisuda hari ini, juga kerja keras Ara ke depannya atau bahkan jika Ara benar-benar sukses nanati, semua itu persembahan buat Mama.“
Setelah itu merekapun pulang. Sungguh perjalanan yang indah walau terjal. Keindahan itu tercipta karena adanya ketabahan, keyakinanan, kerja keras dan ketaatan kepada Tuhan. Ara dan ibunya telah membuktikan mengubah kesulitan mereka menjadi mudah dan ketidakberadyaan itu menjadi kekuatan yang luar biasa. Kesulitan-kesulitan yang ada serta tempaan hidup yang bertubi-tubi justru membuat mereka kuat. Kebahagiaan tak bergantung pada kekayaan materi. Tetapi kekayaan hati serta keyakinan terhadap diri sendiri dan terhadap Tuhanlah yang menghantarkan mereka pada kebahagiaan abadi. Keep fighting.

-The End-

PROFIL PENULIS
Rita Lestari
Cirebon - Jawa Barat
Email: rita_lestari93@yahoo.co.id
Fb: aTir_b4g1@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar